Kamis, 23 September 2010

Pendidikan

Kenakalan Remaja

Setelah kita kemarin cerita soal pelecehan seksual terhadap remaja, ngga ada salahnya kalo kita memundurkan pembicaraan - kenakalan remaja. Yang pasti yang satu ini worth it banget buat dibahas, gila aja makin hari makin marak perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja!
Ada tawuran, ngelakuin seks bebas, narkotika, alkohol dan sebagainya. Oke, Helda udah nyebutin frasa kenakalan remaja satu kali, sebenarnya apa sih kenakalan remaja itu? Apa cuma nakal-nakal, sedikit nakal atau kenakalan (baca: terlalu nakal)?Kata pakar-pakarnya nih, kenakalan remaja itu bisa didefinisikan sebagai perilaku menyimpang atau tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. (Kartono, 2003).
Apa kenakalan remaja itu hanya mencakup tindakan-tindakan yang akan membawa kita ke dalam bui, Helda? Jawabannya tidak!Silahkan perhatikan definisi kenakalan remaja yang sudah disebutkan di atas tadi. Sekarang… Kenapa seorang remaja bisa terjun ke dunia “kenakalan remaja” dan bagaimana kita sebagai remaja bisa menghadapinya? Berikut penjelasannya, tentunya berdasarkan perspektif seorang remaja.
Balik ke definisi awal kenakalan remaja - suatu tindakan menyimpang/tidak dapat diterima sosial. Nah, pertanyaannya: kenapa remaja melakukan pemberontakan? Ada 3 hal yang berperan penting dalam hal ini, yaitu:
Keluarga
Pergaulan
Remaja itu sendiri
1. Keluarga
Yang paling rentan ini nih (walau di poin ketiga yang akan dibahas berikut adalah kuncinya)! Kenapa ngga? Gimana jadinya anak atau remaja di masa depan, ditentukan oleh cara didik orang tua. Nah, cara mendidik ini yang menjadi satu hal yang masih dipertanyakan, sebenarnya gimana sih? Helda aja masih bingung, hehe, ya iya lah. Tapi, satu hal yang perlu diingat adalah: seimbang. Otoriter atau istilah lebih halusnya tegas, permisif serta demokratisnya haruslah sesuai kadar.Ketika orang tua otoriter, maka yang kita sebut sebagai kenakalan remaja akan muncul dalam artian ingin memberontak. Sementara kalo ortu permisif, remaja malah akan mencari-cari perhatian dengan segala tingkah lakunya yang kemungkinan besar menjurus ke kenakalan remaja. Bahkan orang tua yang demokratis sekalipun, Helda saja sebagai remaja ngga bisa menjamin akan menggunakan kebebasan namun bertanggung jawab dari paham demokratis ini. Karena…
2. Pergaulan
Yup! Pergaulan remaja. Tekanan teman bahkan sahabat, apakah itu yang namanya rasa solidaritas, ingin diterima, dan sebagai pelarian, benar-benar ampuh untuk mencuatkan kenakalan remaja yaitu perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja.Kalo di dalam keluarga, remaja memberontak atau mencari perhatian yang menjurus ke tindakan kenakalan remaja demi orang tua. Nah ini, malah ke kebutuhan yang lain! Yup! Teman, sabahat dan diterima dalam pergaulan yang merupakan suatu kebutuhan.
3. Remaja Itu Sendiri
Pada hakikatnya apa yang dilakuin oleh seorang remaja ketika mencoba menarik perhatian dari ortu terlebih lagi teman, adalah untuk memuaskan diri remaja itu sendiri. Memuaskan di sini bukan hanya dalam arti negatif aja yah. Namun, demi memuaskan obsesinya itu - sering malah ‘keterlaluan’ dan ‘berlebihan’!
Bukankah apa pun yang terjadi kalo memang remaja tersebut punya ‘hati yang besar’ menyadari bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan ‘perhatian itu’, pasti dia bisa untuk tidak terperosok ke dalam jurang kenakalan remaja.
Postingan ini hanyalah pelengkap untuk postingan berikutnya. Tadi kan kita sudah bahas mengenai kenakalan remaja, yang udah disebutin bahwa keluarga itu berperan penting. Helda pikir rata-rata remaja sekarang hidup dalam keluarga berantakan atau broken home, orang tuanya sering bertengkar, dan bahkan bercerai. Masih ingat dengan artikel blog remaja “Penyebab Kasus Perceraian Keluarga“? Karena itu, Helda bakal menyajikan postingan berseri (kayak masakan aja yah):
Ortu Sering Bertengkar, Bagaimana Remaja Bersikap?
Orang Tua Bercerai
Aku Bangga Jadi Remaja dari Keluarga Broken Home! Semoga artikel kenakalan remaja ini dan artikel-artikel berseri dari blog remaja yang dijanjikan bisa membuat para remaja menghadapi dan melawan tindakan menyimpang yang ngga ada gunanya…

Makalah Pendidikan AIDS



BAB I PENDAHULUAN



A.  Latar Belakang
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya seperti SIV, FIV dan an Lain-Lain.Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.

BAB II  GEJALA DAN KOMPLIKASI



A.  Gejala-Gejala Utama AIDS.

Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma. Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
  1. Penyakit Syaraf dan Kejiwaan Utama
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
2.   Kanker dan Tumor Ganas (malignan)
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).[21][22]
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.

3.   Infeksi Oportunistik Lainnya

Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.

B.  Penyebab

1.   Penularan seksual

Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV. Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofag) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofag.

 

2.   Kontaminasi Patogen Melalui Darah

Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.[40] Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman.

3.   Penularan masa perinatal

Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.




BAB III PENCEGAHAN DAN PENANGANAN AIDS

 

A.  Pencegahan

A.  Hubungan Seksual

Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan.

B.  Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi

Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.

C.  Penularan Dari Ibu ke Anak

Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT). Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka.

B.  Penanganan

A.  Terapi antivirus

B.  Penanganan eksperimental dan saran

C.  Pengobatan alternatif

Tesis Psikologi Pendidikan Islam


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
       Kehidupan sosial budaya suatu masyarakat merupakan sistem terbuka yang di dalamnya selalu terjadi interaksi dengan sistem – sistem yang lainnya. Kondisi seperti ini mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran, dan perubahan nilai dalam masyarakat yang kemudian akan turut mewarnai pola pikir dan perilaku setiap individu.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa karakter suatu masyarakat merupakan cerminan dari masing-masing individunya, termasuk didalamnya adalah para remaja, sebagai generasi penerus. Jika karakter yang diwarisinya positif, tentu tidak akan menjadi suatu masalah, namun jika yang terjadi itu sebaliknya, bahwa suatu masyarakat mewarisi karakter negatif kepada generasi selanjutnya, maka hal tersebut akan menjadi masalah yang serius karena hal tersebut turut mempengaruhi maju mundurnya suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari bangsa secara luas.
Hal tersebut terjadi pada sebagian masyarakat di kecamatan Palasah, Kabupaten Majalengka. Masih terdapat komunitas masyarakat yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kegiatan menuntut ilmu sebagai salah satu bentuk ibadah, bahkan mayoritas intelektual muslim meyakini bahwa kegiatan belajar dan menuntut ilmu merupakan integritas ibadah yang turut mempengaruhi dan menentukan kemajuan suatu bangsa. Namun tampaknya tidak semua masyarakat Indonesia sependapat dengan hal itu.
Pemikiran atau prinsip – prinsip yang keliru tersebut tentunya merupakan warisan dari para pendahulunya, kemudian mereka mewariskan kembali kepada generasi selanjutnya. Dalam hal ini, siswa MTsN Palasah termasuk di dalamnya. Karakter mereka terbentuk dari suatu masyarakat yang kurang berpendidikan, terutama pendidikan agamanya.
Seringnya siswa membolos, tidak disiplin dalam pelaksanaan tugas yang diberikan oleh guru, rendahnya konsentrasi siswa dalam menyimak pelajaran, tidak sedikit siswa yang melakukan pelanggaran, begitupula yang berhenti sekolah di tengah jalan, serta minimnya jumlah siswa yang melanjutkan sekolah setiap tahunnya, merupakan cerminan dari mental masyarakat yang kurang berpendidikan. Hal tersebut mengindikasikan rendahnya kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) siswa MTsN Palasah, Kabupaten Majalengka. Padahal, kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) menentukan keberhasilan siswa dalam proses pendidikan untuk jangka panjang.
Sebagai guru, tentunya peneliti beserta rekan-rekan lainnya senantiasa meningkatkan kualitas diri, dan berupaya untuk memperbaiki kualitas pembelajaran melalui strategi, metode, maupun media pembelajaran yang lebih menarik. Berdasarkan hal tersebut, peneliti teringat pada salah satu metode yang digunakan pada Training ESQ way 165 di bawah naungan Ary Ginanjar Agustian yang pernah peneliti alami sebelumnya, yaitu berupa renungan tentang kisah teladan atau pengupasan makna kehidupan dengan tujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan daya spiritualitas yang tercermin dalam pembentukan sebuah karakter, dengan suasana yang dikondisikan sedemikian rupa, sehingga mendukung jalannya kegiatan tersebut.
Selama ini memang terdapat beberapa kritikan dari sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa Training ESQ way 165 tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan karakter seseorang sehingga menurut mereka tidak ada perbedaan yang signifikan pula antara individu yang telah mengikuti Training ESQ Way 165 dengan individu yang belum pernah mengikuti Training ESQ Way 165.
Argumen-argumen seperti itu tidak sepenuhnya salah, namun tentunya masih perlu diuji, dikaji, dan dibuktikan kebenarannya. Menurut peneliti, tidak ada salahnya jika renungan tersebut diterapkan dalam proses pendidikan, karena bagaimanapun, sudah saatnya para guru merubah pola pikir siswa, membetuk mental dan karakter siswa yang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan, sehingga termotivasi menjadi lebih semangat dalam proses pembelajaran.
Sejauh ini peneliti telah mulai menerapkan kegiatan renungan pada akhir proses pembelajaran beberapa kali, namun hal tersebut belum diteliti secara focus, sehingga belum diketahui secara pasti akan dampak yang ditimbulkan. Oleh karena itu, peneliti akan mengkaji penerapan renungan dalan proses pembelajaran di MTsN Palasan. Peneliti berkeyakinan bahwa kegiatan renungan merupakan salah satu alternatif untuk menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) siswa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dikemukakan beberapa pertanyaan sebagai rumusan masalah yang perlu untuk diketahui jawabannya, yaitu :
1. Bagaimana penerapan renungan dalam proses pembelajaran?
2. Bagaimana respon siswa terhadap pelaksanaan renungan dalam proses pembelajaran?
3. Adakah perubahan yang dialami siswa dari segi emosional, yang dalam hal ini tercermin melalui sudut pandang dan perilaku sosialnya dan perubahan dari segi spiritual, yang dalam hal ini tercermin malalui perilaku keagamaannya?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Peneliti mengangkat masalah ini bertujuan untuk :
a. Mengkaji pelaksanaan renungan dalam proses pembelajaran.
b. Mengkaji respon siswa terhadap pelaksanaan renungan dalam proses pembelajaran.
c. Mengkaji perubahan yang dialami siswa dari segi emosional, yang dalam hal ini tercermin melalui sudut pandang dan perilaku sosialnya, serta perubahan dari segi spiritual, yang dalam hal ini tercermin melalui perilaku keagamaannya.

2. Kegiatan Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi peningkatan efektifitas pembelajaran di MTsN Palasah. Secara teoritik dan praktis, penelitian ini dapat bermanfaat antara lain :
a. Manfaat secara teoritik
Secara teoritik penelitian ini dapat dijadikan sarana pembelajaran untuk memahami ilmu psikologi pendidikan, khususnya dalam penerapan metode pembelajaran.
b. Manfaat secara praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang efektif di Madrasah Tsanawiyah, sehingga dapat pula meningkatkan kualitas pendidikan bagi masyarakat.
D. Kerangka Penelitian
Penerapan renungan dalam proses pembelajaran
dan dampak yang ditimbulkannya

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sekarang dan di masa yang akan datang, menuntut kita untuk mampu menerapkan model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual (ESQ). Suatu kecerdasan yang memiliki kebenaran dalam setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, kecerdasan emosi (EQ) yang matang dan dewasa dan kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap demi pencapaian yang cerdas.1
Ketiga kemampuan tersebut membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas diri. Mengabaikan salah satu kemampuan tersebut menyebabkan individu yang bermasalah, baik secara pribadi maupun sosial. Sedangkan selama ini sistem pendidikan kita khususnya, terlalu menekankan pentingnya nilai akademik saja. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT), jarang dijumpai pendidikan tentang kecerdasan emosi (EQ) yang mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai integritas, komitmen, ketahanan mental, kebijaksanaan, pengendalian diri, dan lain-lain. Kalaupun ada, masih dalam taraf pengetahuan saja.
Kini dengan munculnya teori kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), peneliti berpendapat bahwa sudah seharusnya teori SQ dan EQ dapat diaplikasikan sebagai pendekatan pembelajaran. Terlebih lagi, kini duni pendidikan kita tengah menggalakan peningkatan profesionalisme guru untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Diharapkan dengan intelijensi, emosi, dan spiritual yang tinggi dan stabil pada diri guru, akan lebih sukses dalam mengelola kegiatan pembelajaran.2
Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan utama dalam proses pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu inovasi – inovasi pembelajaran memiliki peran penting dalam menentukan kualitas pembelajaran.
Suksesnya pembelajaran ditentukan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah faktor strategi dan metode pembelajaran yang digunakan, kualitas penyampaian materi subjek, dan kondisi psikologis peserta didik, yang dalam hal ini guru dan siswa.
Oleh karena begitu pentingnya ketiga faktor di atas dalam hal menentukan kualitas pembelajaran, tentunya seorang guru harus memperhatikan dan mempelajari hal tersebut, sehingga dapat menciptakan proses pembelajaran yang menarik. Namun demikian, pembelajaran yang berkualitas belum dapat dikatakan sebagai kegiatan pembelajaran yang berkualitas jika tidak ada proses pemaknaan tentang suatu materi yang disajikan.
Sebagai pendidik, dalam mewujudkan diri sebagai pendidik professional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan siswa untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ), dan menantang atau problematic (problematical learning) (IQ), sehingga pada gilirannya, dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang kaffah.3
Salah satu cara untuk mewujudkan suatu pembelajaran yang berkualitas adalah pengkolaborasian dengan salah satu metode yang menurut peneliti cukup mampu mengangkat kesadaran seseorang dalam memaknai sesuatu, yaitu penerapan renungan. Kegiatan tersebut kiranya dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, serta mengembangkan kecerdasan emosi dan spiritual siswa. Jika hal tersebut telah tercapai, bukan hanya dapat mensukseskan tujuan pendidikan, yaitu membentuk bangsa yang berilmu pengetahuan tinggi (IPTEK) dan memiliki kualitas iman dan takwa (IMTAK).

E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dimana peneliti terjun langsung sebagai instrument utama di lapangan (Field Research)
2. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif untuk menggambarkan, menjelaskan, atau menegaskan hasil penelitian yang diharapkan, yang sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Teknik Penelitian
Untuk mendapatkan data yang tepat dan sesuai dengan permasalahan penelitian, perlu ditentukan instrument sebagai alat atau cara dalam pengumpulan data. Dengan teknik pengumpulan data melalui prosedur yang sesuai dengan ketentuan, maka akan diperoleh data yang benar.
Dalam penelitian ini, selain peneliti sendiri yang berfungsi sebagai instrument penelitian, juga dilakukan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode pengumpulan data tersebut di atas dipilih karena merupakan metode yang tepat.
4. Prosedur Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian tindakan kelas. Penelitian ini terdiri dari tiga siklus dengan empat langkah di setiap siklusnya.
Sedangkan tahapan – tahapan yang akan dilalui di dalam penelitian ini adalah kegiatan – kegiatan yang berbentuk siklus yang mengacu kepada model seperti yang dikemukakan oleh Arikunto4, yang meliputi 1) perencanaan, 2) pelaksanaan, 3) pengamatan, 4) refleksi.
Secara garis besar, skema penelitian dapat peneliti kemukakan sebaia berikut :
Skema Penelitian
Berdasarkan skema proses penelitian di atas, dapat dijelaskan bahwa :
Pada tahap perencanaan, peneliti melakukan hal – hal berikut :
1) Mengurus izin penelitian, mengadakan pertemuan awal dengan rekan guru yang turut membantu pelaksanaan penelitian ini, 2) menentukan focus observasi, pedoman dan pelaksanaan observasi, menentukan cara pelaksanaan dan pelaku refleksi, 3) menyusun dan menghimpun instrument penelitian.
Pada tahap pelaksanaan dan pengamatan, kegiatan yang dilakukan peneliti adalah : 1) Peneliti melibatkan seorang observer, yaitu guru mata pelajaran Biologi lain. Tugas observer adalah mencatat segala yang diamati dan dilihatnya selama proses pembelajaran berlangsung, seperti suasana dan situasi kelas pada waktu itu.
Kegiatan refleksi atau diskusi balikan dilakukan bersama-sama antara guru dan observer setelah pelaksanaan pembelajaran usai dan setelah pengolahan data selesai dilakukan dengan mendiskusikan hasil pengamatan dan pengolahan data tersebut. Hasil yang diperoleh dari diskusi tersebut adalah berupa temuan tingkat efektifitas scenario yang telah disusun, serta aspek-aspek permasalahan yang muncul saat dilaksanakan di lapangan, yang selanjutnya dijadikan dasar bagi perencanaan pada siklus yang kedua, dan selanjutnya.
Tahapan pada siklus kedua disusun berdasarkna temuan pada siklus pertama, yang dalam pelaksanaannya telah mengalami perbaikan-perbaikan. Demikian pula langkah-langkah yang digunakan pada siklus ketiga hingga kondisi akhir.

Makalah Pengantar Pendidikan



BAB I PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang Masalah
Ilmu Pendidikan memerlukan landasan keilmuan karena pendidikan dapat dijadikan pijakan, arah, serta pilar utama terhadap pengembangan manusia, Bangsa dan Negara untuk selalu berwawasan luas demi tercapainya cita-cita bangsa. Bagi bangsa Indonesia pendidikan diharapkan bias mengusahakan pembangunan manusia pancasila sebagai manusia yang tinggi kualitasnya dan mampu untuk mandiri. Landasan keilmuan itu juga sebagai pemberi dukungan bagi perkembangan masyarakat. Sehingga Ilmu Pendidikan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
1.   Landasan-Landasan Pengantar Pendidikan
  • Landasan Filosofis
Landasan yang berkaitan dengan makna atau hakekat pendidikan, menelaah masalah-masalah pokok seperti apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan diperlukan, apa yang seharusnya menjadi tujuannya, dan sebagainya.
  • Landasan Sosiologis
Kegiatan pendidikan yang merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda mengembangkan diri.
  • Landasan Budaya
Landasan yang mempelajari tingkah laku yang dapat diterima kemudian menerapkan tingkah lakunya itu sendiri. Menjadikan anak sebagai anggota masyarakat. Landasn ini juga bertujuan agar pendidikan di Indonesia mengutamakan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara aspek pelestarian nilai-nilai luhur sosial, kebudayaan, dan aspek-aspek pengembangan.
  • Landasan Psikologi
Landasan yang berkaitan dengan pemahaman peserta didik, utamanya aspek kejiwaan. Psikologi menyediakan informasi tentang kehidupan pribadi manusia serta gejala-gejala aspek pribadi.
  • Landasan Ekonomi
Landasan ini membahas tentang budaya yang diperlukan dalam pandidikan, hasil dari pendidikan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan sebagainya.
  • Landasan Agama
Landasan Agama dalam pendidikan memberikan keterangan bahwa agama berasal dari wahyu yang gerasal dari tuhan(dalam hal ini agama bersifat residental). Dengan landasan ini diharapkan pendidikan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku pada agama.
  • Antropologi
Landasan ini berkaitan dengan landasan budaya. Dengan adanya landasan antropolgi,peserta didik dapat mengetahui kebudayaan daerah lain.
  • Hukum
Dengan adanya landasan ini setiap orang akan lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatan(berkenaan dengan perilakunya). Jika ia melanggar maka ia akan dikenai hukuman atau sanksi sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
  • Politik
Landasan politik penting untuk melatih jiwa masyarakat,berbangsa dan bertanah air dan juga dap[at dimaknai sebagai suatu studi untuk mengkritisi suatu system pemerintahan dan pemerintah yang bila memungkinkan melakukan penyimpangan amanat.
  1. Teori Pengantar Pendidikan
a.   Uyoh Sadulloh, 1994
Upaya mempelajari pendidikan sebagai teori dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, diantaranya: (1) pendekatan sains; (2) pendekatan filosofi; dan (3) pendekatan religi.
b.   Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
(1) suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
c.   Carl Rogers
Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.
Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1.      Kognitif (kebermaknaan)
2.      experiential ( pengalaman atau signifikansi)
d.   Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin
e.   Teori Belajar Vygostky
1.2.Rumusan Masalah
      Membahas tentang teori dan pendapat menurut para ahli tentang pengantar pendidikan yaitu menurut para ahli :
  1. Uyoh Sadulloh, 1994
  2. Maslow
  3. Carl Rogers
  4. Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin
  5. Teori Belajar Vygostky
1.3.Tujuan
      Untuk memahami berbagai pendapat dan teori dari para ahli yang telah mengemukakan pendapatnya tentang pengantar dan pembelajaran pendidikan.









BAB II  PEMBAHASAN


2.1`   Uyoh Sadulloh, 1994
Upaya mempelajari pendidikan sebagai teori dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, diantaranya: (1) pendekatan sains; (2) pendekatan filosofi; dan (3) pendekatan religi.
1.   Pendekatan Sains
Pendekatan sains yaitu suatu pengkajian pendidikan untuk menelaah dan dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan disiplin ilmu tertentu sebagai dasarnya. Cara kerja pendekatan sains dalam pendidikan yaitu dengan menggunakan prinsip-prinsip dan metode kerja ilmiah yang ketat, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif sehingga ilmu pendidikan dapat diiris-iris menjadi bagian-bagian yang lebih detail dan mendalam.Melalui pendekatan sains ini kemudian dihasilkan sains pendidikan atau ilmu pendidikan, dengan berbagai cabangnya, seperti: (1) sosiologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sosiologi dalam pendidikan untuk mengkaji faktor-faktor sosial dalam pendidikan; (2) psikologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi untuk mengkaji perilaku dan perkembangan individu dalam belajar; (3) administrasi atau manajemen pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari ilmu manajemen untuk mengkaji tentang upaya memanfaatkan berbagai sumber daya agar tujuan-tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien; (4) teknologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sains dan teknologi untuk mengkaji aspek metodologi dan teknik belajar yang efektif dan efisien; (5) evaluasi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi pendidikan dan statistika untuk menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa; (6) bimbingan dan konseling, suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari beberapa disiplin ilmu, seperti: sosiologi, teknologi dan terutama psikologi.Tentunya masih banyak cabang-cabang ilmu pendidikan lainnya yang terus semakin berkembang yang dihasilkan melalui berbagai kajian ilmiah.

2.   Pendekatan Filosofi
Pendekatan filosofi yaitu suatu pendekatan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan metode filsafat. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih luas, kompleks dan lebih mendalam, yang tidak terbatas oleh pengalaman inderawi maupun fakta-fakta faktual, yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh sains. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan fakta, namun pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan cara-cara yang dilakukan oleh sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam.
Cara kerja pendekatan filsafat dalam pendidikan dilakukan melalui metode berfikir yang radikal, sistematis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga model: (1) model filsafat spekulatif; (2) model filsafat preskriptif; (3) model filsafat analitik. Filsafat spekulatif adalah cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek. Nilai suatu benda pada dasarnya inherent dalam dirinya, atau hanya merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat. Filsafat analitik memusatkan pemikirannya pada kata-kata, istilah-istilah, dan pengertian-pengertian dalam bahasa, menguji suatu ide atau gagasan untuk menjernihkan dan menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan secara hati dan cenderung untuk tidak membangun suatu mazhab dalam sistem berfikir (disarikan dari Uyoh Sadulloh, 1994)Terdapat beberapa aliran dalam filsafat, diantaranya: idealisme, materialisme, realisme dan pragmatisme (Ismaun, 2001). Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian  menghasilkan filsafat pendidikan, yang selaras dengan aliran-aliran filsafat tersebut. Filsafat pendidikan akan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam merumuskan tujuan dan kebijakan pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya dihasilkan berbagai teori pendidikan, diantaranya: (1) perenialisme; (2) esensialisme; (3) progresivisme; dan (4) rekonstruktivisme. (Ella Yulaelawati, 2003).Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
3.   Pendekatan Religi
Pendekatan religi yaitu suatu pendekatan untuk menyusun teori-teori pendidikan dengan bersumber dan berlandaskan pada ajaran agama.Cara kerja pendekatan religi berbeda dengan pendekatan sains maupun filsafat dimana cara kerjanya bertumpukan sepenuhnya kepada akal atau ratio, dalam pendekatan religi, titik tolaknya adalah keyakinan (keimanan). Pendekatan religi menuntut orang meyakini dulu terhadap segala sesuatu yang diajarkan dalam agama, baru kemudian mengerti, bukan sebaliknya.Terkait dengan teori pendidikan Islam, Ahmad Tafsir (1992) dalam bukunya “ Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam” mengemukakan dasar ilmu pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan Akal. Al-Quran diletakkan sebagai dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar kedua. Sementara akal digunakan untuk membuat aturan dan teknis yang tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utamanya (Al-Qur’an dan Hadis), yang memang telah terjamin kebenarannya. Dengan demikian, teori pendidikan Islam tidak merujuk pada aliran-aliran filsafat buatan manusia, yang tidak terjamin tingkat kebenarannya.Berkenaan dengan tujuan pendidikan Islam, World Conference on Muslim Education (Hasan Langgulung, 1986) merumuskan bahwa : “ Education should aim at balanced growth of the total personality of man through Man’s spirit, intelellect the rational self, feelings and bodily senses. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spirituals, intelectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim Education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.”
Sementara itu, Ahmad Tafsir (1992) merumuskan tentang tujuan umum pendidikan Islam yaitu muslim yang sempurna dengan ciri-ciri : (1) memiliki jasmani yang sehat, kuat dan berketerampilan; (2) memiliki kecerdasan dan kepandaian dalam arti mampu menyelesaikan secara cepat dan tepat; mampu menyelesaikan secara ilmiah dan filosofis; memiliki dan mengembangkan sains; memiliki dan mengembangkan filsafat dan (3) memiliki hati yang takwa kepada Allah SWT, dengan sukarela melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya dan hati memiliki hati yang berkemampuan dengan alam gaib.Dalam teori pendidikan Islam, dibicarakan pula tentang hal-hal yang berkaitan dengan substansi pendidikan lainnya, seperti tentang sosok guru yang islami, proses pembelajaran dan penilaian yang islami, dan sebagainya. (selengkapnya lihat pemikiran Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam)Mengingat kompleksitas dan luasnya lingkup pendidikan, maka untuk menghasilkan teori pendidikan yang lengkap dan menyeluruh kiranya tidak bisa hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang terintegrasi dan memliki hubungan komplementer, saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan semacam ini biasa disebut pendekatan multidisipliner
2.2    Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal:
(1) suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
2.3.   Carl Rogers
Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.
Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
    1. Kognitif (kebermaknaan)
    2. experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1.   Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2.   Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
3.   Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4.   Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
a.   Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b.   Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c.   Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d.   Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e.   Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f.    Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g.   Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h.   Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i.    Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j.    Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakuo konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1.      Merespon perasaan siswa
2.      Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3.      Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4.      Menghargai siswa
5.      Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6.      Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa)
7.      Tersenyum pada siswa
2.4    Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin
         Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencankup perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang – orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward.
2.5    Teori Belajar Vygostky
Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing-masing zone of proximal development mereka; 2) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep – konsep dan pemecahan masalah. Teori Belajar Cognitive-Field Dari Lewin Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar kognitif-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis.



















BAB III  KONTRIBUSI


3.1        Kajian Secara Teoritis
Makalah ini ditinjau dari kajian teoritisnya kalau pengantar pendidikan menurut pendapat para ahli Uyoh Sadulloh, 1994, Upaya mempelajari pendidikan sebagai teori dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, diantaranya: (1) pendekatan sains; (2) pendekatan filosofi; dan (3) pendekatan religi. Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal:
(1) suatu usaha yang positif untuk berkembang(2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Carl Rogers
Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak. Teori Belajar Vygostky.Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya.
3.2        Kajian Secara Praktis
Pengantar pendidikan secara praktis dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar menyangkut antara pengajar dan siswa itu perlu adanya keserasian yang selaras antara keduanya. Si siswa menyimak dan melaksanakan segala tugas yang diberikan pengajar sedangkan pengajar melaksanakan kewajibannya sebagai  pengajar melakukan pembelajaran kepada siswa sesuai bidang studynya. Apabila keduanya telah telah selaras secara praktis maka pengantar pendidika berjalan sesuai dengan yang diinginkan.



BAB IV  KESIMPULAN DAN SARAN


4.1        Kesimpulan
Pengantar pendidikan yang diuraikan oleh para ahli pendidikan semuanya merujuk pada kesempurnaan sistematika pengajaran dalam pendidikan.Baik secara kognitif maupun eksperential. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu.
4.2        Saran
Dalam pengantar pendidikan perlunya keselarasan baik secara teoritis dan praktis harus ada keterkaitan dan kerja sama yang baik. Agar dalam proses pembelajaran memperoleh hasil yang maksimal.